Selasa, 19 Mei 2015

Sabtu Bersama Bapak


Hai. Akhirnya nemu waktu yang lumayan selo buat nulis resensi novel. *inget tugas besar woy java spring, jarkom, rpl, pemweb!!* *Bodo amat* Oke back to the topic. Kali ini saya nggak mau ngeresensi novel yang berat- berat. Kira- kira 8 taun yang lalu terakhir kali saya nulis resensi di blog ini tentang buku karangannya Jules Verne. Buku yang lumayan berat. Buku yang lumayan bikin kita mikir haha. 
Karena mungkin di dunia perkuliahan ini terlalu banyak mikir maka kali ini novel yang akan saya resensi berjudul "Sabtu Bersama Bapak" karangan mas Adhitya Mulya. Pertama tama waktu beli novel ini saya ragu. Soalnya saya takut kalau novelnya cuman cerita tentang anak muda yang durhaka terus ditinggal mati sama bapaknya terus dia nyesel terus dia memutuskan untuk minum superpel. Atau kalau nggak, cuman cerita tentang seorang jomblo yang tiap hari malam mingguan sama bapaknya. Makan sama bapaknya. Ke toko buku sama bapaknya. Nonton film sama bapaknya. Bahkan nonton konser pun sama bapaknya. Kasian banget ya kalau ceritanya kayak gini.
Dan akhirnya saya memutuskan untuk beli novel ini. Pertama, karena buku yang saya cari novel Mask karangan Aya Swords di Gramedia habis. Kedua, karena liat sinopsis di belakang bukunya yang bertuliskan
“Ini adalah sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik. Tentang seorang ibu yang membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan… tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka” dan oke fix saya beli!
Buku ini bercerita tentang dua anak laki- laki yang ditinggal oleh ayahnya karena sakit kanker. Ayahnya tersebut sebelum meninggal telah divonis oleh dokter bahwa dia akan bertahan kurang lebih satu tahun lagi. Dan beliau tidak mau menyia- nyiakan satu tahun bersama istri dan kedua anak mereka yang masih kecil. Seorang ayah yang tidak mau anak- anaknya tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran seorang ayah. Seorang ayah yang tidak mau anak- anaknya tumbuh liar tanpa pengawasan dia. Seorang ayah yang akan mengajarkan kepada mereka tentang sopan santun, pentingnya ipk diatas 3, cara pandang, pola pikir, pola memilih pasangan hidup dan pola membahagiakan keluarga. Dengan cara, bapak merekam nilai- nilai kehidupan sebagai bekal untuk anak- anak mereka. Rekaman-rekaman ini dibagi dalam kaset-kaset yang kemudian akan diputar seminggu sekali, setiap hari Sabtu bakda ashar. 

Tokoh- tokoh utama dalam novel ini yaitu Cakra, Satya, Itje (ibu Satya dan Cakra) dan Bapak.

Oke langsung dimulai saja dari Cakra. Cakra Garnida ini ceritanya seorang eksekutif muda yang sukses dalam karir tapi gagal dalam dunia percintaan. Di usia 30 tahun, dia telah memiliki rumah dan mobil sendiri. Ibunya telah berulang kali mencarikan dia sosok pasangan yang hidup. Namun, usaha ibu Itje sepertinya sia- sia. Bukan karena dia maho ataupun nggak laku. Tapi karena dia ingin sukses dulu dan dia ingin idealis dengan prinsip ajaran bapak dalam rekaman video tersebut
“Planning is everything. Bapak akan menilai seseorang yang artinya bapak meminta perempuan ini untuk percaya sama Bapak. Untuk memindahkan bakti dia, yang tadinya ke orang tua, menjadi ke Bapak. Ironisnya Bapak gak punya apa- apa untuk mencukupi dia. Apalagi mencukupi kalian. Menikah itu banyak tanggung jawabnya. Rencanakan. Rencanakan untuk kalian. Rencanakan untuk anak-anak kalian.”(halaman 18)
“Istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat. Tapi, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.” (halaman 17)
Walaupun begitu, kasian sekali hidup si Cakra ini. Karyawan- karyawanya yang kurang ajar dan kepoers menjadikan dia sasaran empuk untuk di “bully”
Pagi, Pak Cakra
Pagi, Wati
Udah sarapan, Pak?
Udah, Wati
Udah punya pacar, Pak?
Diam kamu, Wati

Pagi, Pak
Pagi, Firman
Pak mau ngingetin dua hal aja, Bapak ada induksi untuk pukul 9 nanti di ruang meeting
Oh, iya. Thanks. Satu lagi apa?
Mau ngingetin aja, Bapak masih jomblo
Enyah, kamu! (Keliatan banget kalau ini kosa katanya mas Adhitya Mulya. Mirip- mirip si Radit wkwk)
Disaat Cakra sedang memikirkan bagaimana mencari pasangan hidup, Satya si anak sulung sedang dilanda kegalauan. Apakah dia telah menjadi bapak yang baik? Apakah dia terlalu memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak- anaknya? Apakah dia jahat? Apakah dia merupakan seseorang yang selalu dirindukan beraadaanya di rumah?
Dalam kisah Satya ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil ketika kita terlalu memiliki ekspekasi tinggi terhadap anak- anak kita. 
Pertama, mereka berbeda. Mereka bukan kita. Mereka memiliki cara sendiri untuk belajar dan berkembang. Mereka memiliki bakatnya masing- masing. Tugas kita hanya mengarahkan agar bakat mereka bisa tersalurkan. Kedua, jadikan orang tua sebagai sosok teman dan sahabat. Kita akan sangat senang ketika anak- anak dapat bercerita lepas tentang peristiwa yang mereka alami bukan? Ketiga yang paling saya suka adalah, sesuatu yang handmade itu lebih berkesan. Bikin layang- layang, bikin rumah- rumahan dari kardus sangat menyenangkan daripada main game COC di depan tablet berjam- jam.
“Seorang anak tidak wajib menjadi baik atau pintar hanya karena dia sulung. Nanti yang sulung jadi benci sama takdirnya dan si adik tidak belajar tanggung jawab dengan cara yang sama. Semua anak wajib menjadi baik dan pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan ."
Keempat, ajarkan mereka untuk bermimpi. Bukan sekedar bermimpi. Namun bermimpilah dengan perencanaan yang matang!
“Bapak minta kalian bermimpi setinggi mungkin. Tapi mimpi tanpa rencana dan action, hanya membuat istri dan anak kalian lapar. Kejar mimpi kalian. Rencanakan. Kerjakan. Kasih Deadline”
Back to the Cakra again :D Finally, Cakra berhasil menemukan sosok yang kayaknya bakal jadi ibu dari anak- anak Cakra. Namanya ayu. Dan yang paling nyenengin dari cerita si Cakra dan Ayu adalah, kalau memang jodoh, pasti tak akan lari kemana! (Baca aja halaman 190 :p). Ada beberapa quotes untuk para Cakra- Cakra yang ada di luar sana. Yang mungkin sedang galau menunggu pasangan hidup kapan jatuh dari langit.
Pertama, ada banyak cowok- cowok diluar sana yang bilang. Kalau kita hidup berdua, maka kita terasa sempurna. Kau telah menutup semua kekurangan yang ada padaku dek. Kalau ada orang nembak kamu pakai kata- kata ini cuman ada 2 hal yang harus kamu lakukan. Pertama, bilang “sumpah lo?”. Kedua, tabok pakai sandal aja tuh muka orang. Lebay banget sih lu jadi orang!
“Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang lain.”
Kedua, pakai cara Cakra buat nembak ke Ayu dijamin ampuh.
"Saya ingin kamu jadi pasangan hidup saya. Terima saya jika kamu lihat bahwa saya adalah perhiasan dunia dan akhirat yang baik untuk kamu. Karena……. Kamu adalah perhiasan dunia dan akhirat untuk saya.” *duhdek* *aku kudu pie mas :v*

Di dalam novel ini, terdapat kata- kata yang lumayan menggurui sih tapi dikemas dengan apik oleh mas Adhitya Mulya. Bener- bener novel parenting yang nggak kayak “novel parenting” yang ada di pasaran. Sosok bapak di sini sangat terasa sekali walaupun mereka telah kehilangan bapak sejak kecil, namun bapaklah yang menjadi tumpuan mereka dalam memutuskan suatu hal dan dalam memecahkan suatu problema hidup. Nggak ada alasan buat anak yang salah asuhan. Nggak ada alasan buat anak liar karena ayah dan ibunya meninggal. Semua dapat direncanakan, namun Tuhanlah yang menentukan. Kita hanya bisa berencana :) I'd really say thanks to God cause He already give me an awesome dad! Thanks dad for everything :3 Buku ini highly recommended banget buat calon calon orang tua nih :D

Oya satu lagi yang quotes yang bagus banget dari bapak
“Dia percaya bahwa manusia ditempatkan di dunia utuk membuat dunia lebih baik untuk sebagian orang lain. Jika pun seseorang berguna bagi 1-2 orang, orang itu sudah membuat dunia ini jadi tempat yang lebih baik” 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar